2016-07-07

Lebaran: Kampungku, Kampung yang Kekota-kotaan


Kampungku, Kampung yang Kekota-kotaan

Ini cerita tentang kampungku, sebuah kampung yang ada halamannya, halaman yang masih berupa rumput maupun halaman yang telah dibeton biar kuat dan kokoh kayak hati jomblo yang dibombandir pertanyaan wajib tiap mudik: "kapan nikah?", "gandengannya mana?", atau … "masih sendiri?". Kampungku ini bukanlah kampung di pelosok. Tetapi, ini kampung modern, sebuah kampung yang tidak ndeso, yang bisa juga disebut kampung yang kekota-kotaan. Bila kamu sempat mampir di kampungku, barangkali kamu bakal menemukan horang-horang kampungan. Ya … gimana nggak kampungan, di saat cuaca sedang hot potato-potato (panas ngenthang-ngenthang) atau pun tung-bing-bing (dingin menggigit) tetapi ada yang memakai jaket kulit dan boot setinggi lutut plus celana gemes. Kadang-kadang di punggung ada tato alami bergambar tulang ikan (bekas kerokan). Kalau beneran ketemu, tolong disapa. Itu aku. Biasalah, prinsipku 'kan: biar menderita asal memesona!

Dulu, bertahun-tahun lalu, sholat idul fitri selalu dilaksanakan di halaman yang luasnya seperti lapangan bola yang berumput. Jamaahnya selalu membludak. Berbanding terbalik dengan jamaah sholat wajib di mushola yang jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari tanah berumput itu. Sekarang sih sholat id-nya lebih tersebar di beberapa tempat dan tidak terkonsentrasi di tanah berumput saja. Alhamdulillah ya, sesuatu. Semua berjalan lancar berkat panitia yang sigap dan pak polisi yang siap sedia mengawal kelancaran ibadah.

Usai sholat idul fitri, kami akan antri bersalaman, halal bihalal, dengan 'Bapak dan Ibu'. 'Bapak dan Ibu' punya 'anak' buuuanyak. Makanya, negara kami sedikit terbantukan. 'Kan banyak anak banyak rejeki. Semakin banyak anak-anak yang bermigrasi, semakin banyak pula devisa yang mengalir ke kantong-kantong pendapatan non migas di dalam negeri. Kembali berbicara banyak 'anak' ini, kami perlu membuat antrian yang mengular (gak pakai tangga) demi sebuah silaturrahmi dan berjabat tangan bonus nasi kotak dan sebotol air mineral. Gini amat, yak?

Nah selanjutnya, 'pesta Hari Raya' sesunggguhnya baru akan dilaksanakan pada hari Minggu pertama di bulan Syawal. Kami bakalan memakai baju terbaik (bahkan termahal, terbranded, terkini, ter- ter- dan ter- lainnya)_tentu aku  termasuk di dalamnya, kan horang kayah. Makanannya pun angujubile banyaknya, bejibun banget macamnya. Seolah-olah, rayakan hari kemenangan ini karena esok harus kerja rodi lagi. Saking kemaruknya, ketika lambung sudah tidak muat dengan aneka kue kering dan basah, aneka minuman instan atau racikan dan beraneka menu lebaran lainnya, sisa-sisa makanan akan terbuang percuma di tong sampah, khususnya masakan bersantan yang tidak kuat melawan pengapnya cuaca terik di musim panas. Cepat basi, sih. Itu tuh, opor ayam yang sedianya diguyurkan di atas potongan ketupat … eh … lontong. Kadangkala, untuk makan 10-20 orang tapi porsi masaknya untuk kondangan orang satu RT. Puo-puo, gitu tetangga sebelah menyebutnya. Kalau dinalar, berapa piring sih lambung kita mampu menampung makanan dan minuman (plus udara)? Takut kurang, mumpung kumpul sama keluarga, mumpung ada rizki… gitu?

Sebenarnya, kampungku adalah kampung yang paling komplit di planet bumi. Mulai dari jenis makanannya, agamanya, rasnya, sukunya, bahasanya, kelakuan horang-horangnya, termasuk alat pertukaran yang biasa disebut mata uang. Semua ada. Bahkan kami bisa menciptakan percampuran-percampuran dikarenakan kebhinekaan tersebut. Banyak pula yang keminggris dan gembritish tapi pakai cengkok acha-acha are-are, pakai logat ngapak, bahkan f--k (faik) yang dipadu pisuhan janukc. Kalau kamu denger orang ngomong begitu, cubit saja. Itu aku, aku gak akan melaporkan ke polisi. Beneran.

Jangan mengira kampungku seburuk yang aku kisahkan. Itu sebenarnya kisah keburukanku saja. Banyak banget kegiatan positif yang terkonsentrasi di halaman berumput maupun halaman beton ini yang berdurasi sekian jam, seharian, dua mingguan atau kegiatan rutin lainnya. Entah itu pameran, lokakarya, yoga, pentas seni, pengajian, peragaan busana, latihan beladiri, demonstrasi, dan masih banyak lagi. Soalnya, kalau ditulis semua, sehari semalam pun belum tentu selesai.

Oh ya, kampungku itu bernama Kampung Jawa, yang terletak di taman Victoria (HK), kampung keduaku setelah tanah kelahiran. Sebuah kampung yang fenomenal, yang gaungnya sudah kedengaran bahkan ketika kakiku belum menjejak tanah asing di negeri asing ini. Kalau ditanya lebaran ini mau mudik ke kampung mana? Aku pilih mudik ke hatimu.

Tsah!
***

0 comments:

Post a Comment