Pages - Menu

2014-10-16

[Curcol] Gembreng Seng

Gembreng Seng

Minggu pertama bulan Juni ini, pengguna jejaring sosial di kalangan teman-teman di Hong Kong dihebohkan dengan tulisan sebuah akun yang merendahkan status pekerjaan sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita). Tak ayal, teman-teman di Hong Kong langsung meradang. Kemarahan mereka segera tersulut. Screen shoot tulisan beberapa baris itu segera tersebar dari beranda satu ke beranda lainnya. Adu komentar pun terjadi. Grup-grup obrolan online yang biasa diunduh dari HP Android juga menjadi lahan penyebaran.

Beberapa pekerja migran asal Indonesia di negara penempatan lainnya pun turut geram. Seandainya mau sedikit membuka mata, tentu penilaian miring itu tidak digeneralisir untuk seluruh TKW. Toh semua itu tergantung dari pribadi masing-masing, bukan?

Marilah kita tengok lebih dekat bagaimana kondisi sebenarnya dari TKW Hong Kong itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita hebat, tangguh dan kreativ. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan satu hari liburnya tiap minggu untuk sekolah, kuliah, kursus, berkreasi di dunia fesyen dan modelling, menyanyi, olahgara, advokasi dan banyak lainnya termasuk di dunia fotografi. Kemudahan menyalurkan bakat dan hobi khususnya di dunia fotografi ini kemunginan besar disebabkan oleh banjirnya gadget, yang didukung dengan gaji bulanan yang lumayan besar. Maka jangan heran jika di seputaran lapangan victoria, kita akan menemukan mbak-mbak cantik berkalung kamera.

Saya sempat berfikir, jika mbak-mbak fotografer berkalung kamera, apakah mbak-mbak penulis juga berkalung lappy? Secara lappy adalah salah satu pendukung dunia literasi. Hohoho, stop, stop! Fikiran itu segera saya tepis, toh itu hanya sekedar imajinasi kebablasan seorang TKW Hong Kong yang mencoba peruntungan mendapat gaji tambahan dari sebuah tulisan untuk menambah biaya hidup dan dana pendidikan (pengakuan jujur sambil nunjuk hidung sendiri, eh!).

Demikian juga dengan teman saya, Nanik. Ia adalah salah satu pecinta dunia foto, bukan sebagai sosok di belakang kameranya tetapi sebagai objek jepretnya. Setiap ada kesempatan, ia akan bergaya paling ehem-ehem, jos gandos, top markotop dan sip markusip. Memang, ia memiliki latar belakang sebagai seorang "pewarta foto" selfie, yakni sosok yang selalu mewartakan segala aktivitas pribadinya dengan potret lalu mengunggahnya di jejaring sosial. Entah itu makan, minum, masak, belanja, berangkat mandi, maupun tidur. Cita-citanya sungguh mulia. Yaitu: menjadi model yang cukup disegani. Dalam bahasa Jawa, disegani berarti diwenehi sega (dikasih nasi)!

Maka ketika mimpi ke arah sana mulai kelihatan jalannya, aktivitas sebagai "pewarta foto" selfie pun dikurangi. Kini ia lebih sering beraksi di depan kamera fotografer. Dalam menjalani aktivitas barunya ini, selain make-up, ia pun harus ganti-ganti kostum. Penampilannya disulap lebih jling. Wajahnya yang eksotis khas Melanesia didempul dengan bedak yang lumayan tebal. Pipinya dimerah-merah, kelopak matanya dibiru-biru, tapi saya memohon kepada Anda untuk tidak membayangkan wajahnya seperti habis kena jotos, ya. Meskipun saya mendeskripsikannya 11 12 dengan luka memar.

Menurut Nanik, ia sangat menikmati kegiatan itu. Adiktif yang positif, katanya. Ia makin familiar dengan asesoris fotografi seiring dengan seringnya bersinggungan dengan benda-benda itu. Hari Minggu itu, ketika ia sedang on duty, seorang teman memegang benda pipih nan lebar, masing-masing dua sisinya berwarna emas dan perak dengan pinggiran hitam. Benda itu senantiasa diarahkan ke muka Nanik. Sampai-sampai mata Nanik ikut tersiksa karena silau.

Oleh karenanya, kegiatan pun dipause, break, istirahat atau apapun kata sepadan yang memiliki makna serupa. Selain untuk melemaskan otot-otot yang kaku, ngobrol dengan sesama tim ternyata bisa mendekatkan dan mengeratkan hubungan pertemenan. Sesekali bercanda, minum atau ngemil makanan ringan. Bahkan obrolan tidak penting pun menjadi bumbu pemanis suasana hari itu.

"Itu apa sih kok kayak gembreng seng?" tanya Nanik tiba-tiba.

Haaahhh? Gembreng? Sekelompok wanita pekerja migran yang sedang belajar fotografi itu tertawa serempak tanpa aba-aba. Mata mereka langsung tertuju pada reflector yang disandarkan pada tembok. E... lhae.

No comments:

Post a Comment